Laman

Jumat, 03 Desember 2010

Asal-Usul Kerajaan Mataram Kuno

Asal-Usul Kerajaan Mataram Kuno

Istilah Wangsa Sanjaya diperkenalkan oleh sejarawan bernama Dr. Bosch dalam karangannya yang berjudul Sriwijaya, de Sailendrawamsa en de Sanjayawamsa (1952). Ia menyebutkan bahwa, di Kerajaan Medang terdapat dua dinasti yang berkuasa, yaitu dinasti Sanjaya dan Sailendra.

Istilah Wangsa Sanjaya merujuk kepada nama pendiri Kerajaan Medang, yaitu Sanjaya yang memerintah sekitar tahun 732. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa, dan berkiblat ke Kunjaradari di daerah India.

Raja selanjutnya ialah Rakai Panangkaran yang dikalahkan oleh dinasti lain bernama Wangsa Sailendra. Pada tahun 778 raja Sailendra yang beragama Buddha aliran Mahayana memerintah Rakai Panangkaran untuk mendirikan Candi Kalasan.

Sejak saat itu Kerajaan Medang dikuasai oleh Wangsa Sailendra. Sampai akhirnya seorang putri mahkota Sailendra yang bernama Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan, seorang keturunan Sanjaya, pada tahun 840–an. Rakai Pikatan kemudian mewarisi takhta mertuanya. Dengan demikian, Wangsa Sanjaya kembali berkuasa di Medang.

Teori yang Menolak

Sejarawan Poerbatjaraka menolak keberadaan Wangsa Sanjaya. Menurutnya, Wangsa Sanjaya tidak pernah ada, karena Sanjaya sendiri adalah anggota Wangsa Sailendra. Dinasti ini mula-mula beragama Hindu, karena istilah Sailendra bermakna “penguasa gunung” yaitu sebutan untuk Siwa.

Selain itu, istilah Sanjayawangsa tidak pernah dijumpai dalam prasasti mana pun, sedangkan istilah Sailendrawangsa ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Ligor, prasasti Kalasan, dan prasasti Abhayagiriwihara.

Poerbatjaraka berpendapat bahwa, Sanjaya telah memerintahkan agar putranya, yaitu Rakai Panangkaran pindah agama, dari Hindu menjadi Buddha. Teori ini berdasarkan atas kisah dalam Carita Parahyangan bahwa Rahyang Sanjaya menyuruh Rahyang Panaraban untuk berpindah agama. Dengan demikian, yang dimaksud dengan istilah “raja Sailendra” dalam prasasti Kalasan tidak lain adalah Rakai Panagkaran sendiri.

Carita Parahyangan memang ditulis ratusan tahun sesudah kematian Sanjaya. Meskipun demikian, kisah di atas seolah terbukti dengan ditemukannya sebuah prasasti yang mengisahkan tentang seorang pangeran bernama Sankhara yang pindah agama karena ayahnya meniggal dunia akibat menjalani ritual terlalu berat. Sayangnya, prasasti ini tidak jelas angka tahunnya, serta tidak menyebutkan nama ayah Sankhara tersebut.

Jadi, teori Poerbatjaraka menyebutkan bahwa hanya ada satu dinasti saja yang berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sailendra yang beragama Hindu Siwa. Sejak pemerintahan Rakai Panangkaran, dinasti Sailendra terpecah menjadi dua. Agama Buddha dijadikan agama resmi negara, sedangkan cabang Sailendra lainnya ada yang tetap menganut agama Hindu, misalnya seseorang yang kelak menurunkan Rakai Pikatan.

Kalender Sanjaya

Meskipun istilah Sanjayawangsa tidak pernah dijumpai dalam prasasti mana pun, namun istilah Sanjayawarsa atau “Kalender Sanjaya” ditemukan dalam prasasti Taji Gunung dan prasasti Timbangan Wungkal.

Kedua prasasti tersebut dikeluarkan oleh Mpu Daksa dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan asli Sanjaya, sang pendiri kerajaan. Tahun 1 Sanjayawarsa sama dengan tahun 717 Masehi. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun 717 ini merupakan tahun kelahiran Sanjaya, ataukah tahun berdirinya kerajaan.

Daftar Para Raja

Daftar para raja Medang sebelum Dyah Balitung yang tertulis dalam prasasti Mantyasih menurut teori Bosch adalah daftar para raja Wangsa Sanjaya, sekaligus juga silsilah keluarga mulai dari Sanjaya sampai Balitung.

Para raja tersebut ialah:

* Sanjaya
* Rakai Panangkaran
* Rakai Panunggalan
* Rakai Warak
* Rakai Garung
* Rakai Pikatan
* Rakai Kayuwangi
* Rakai Watuhumalang

Sejarawan Slamet Muljana berpendapat lain. Menurutnya, daftar tersebut bukan silsilah Wangsa Sanjaya, melainkan daftar para raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang. Pendapatnya itu berdasarkan atas julukan Rakai Panangkaran dalam prasasti Kalasan, yaitu Sailendrawangsatilaka atau “permata Wangsa Sailendra”. Jadi menurutnya tidak mungkin apabila Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya.

Analisis Slamet Muljana terhadap beberapa prasasti, misalnya prasasti Kelurak, prasasti Nalanda, ataupun prasasti Kayumwungan menyimpulkan bahwa Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra, sementara sisanya adalah anggota Wangsa Sanjaya, kecuali Rakai Kayuwangi yang berdarah campuran.

Raja Sesudah Balitung

Raja sesudah Dyah Balitung adalah Mpu Daksa yang memperkenalkan pemakaian “Kalender Sanjaya” untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan asli sang pendiri kerajaan. Selain itu, kemungkinan besar Daksa juga merupakan cucu Rakai Pikatan sebagaimana yang tertulis dalam prasasti Telahap.

Daksa digantikan oleh menantunya, bernama Dyah Tulodhong, yaitu putra dari seseorang yang dimakamkan di Turu Mangambil. Tidak diketahui dengan pasti apakah Tulodhong ini merupakan keturunan Sanjaya atau bukan.

Menurut sejarawan Boechari, pemerintahan Tulodhong berakhir akibat pemberontakan Dyah Wawa, putra Rakryan Landhayan. Dalam hal ini juga tidak dapat dipastikan apakah Wawa keturunan Sanjaya atau bukan.

Raja selanjutnya bernama Mpu Sindok yang diperkirakan sebagai cucu Mpu Daksa. Jika benar demikian, maka Mpu Sindok dapat disebut sebagai keturunan Sanjaya pula, meskipun ia dianggap telah mendirikan dinasti baru bernama Wangsa Isana.

Sanjaya, Rakai Mataram

Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah sekitar tahun 730-an.

Mendirikan Kerajaan Medang

Ratu Sanjaya alias Rakai Mataram menempati urutan pertama dalam daftar para raja Kerajaan Medang versi prasasti Mantyasih, yaitu prasasti yang dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung tahun 907.

Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tanggal 6 Oktober 732 tentang pendirian sebuah lingga serta bangunan candi untuk memuja Siwa di atas sebuah bukit. Candi tersebut kini hanya tinggal puing-puing reruntuhannya saja, yang terletak di atas Gunung Wukir, dekat Kedu.

Prasasti Canggal juga mengisahkan bahwa, sebelum Sanjaya bertakhta sudah ada raja lain bernama Sanna yang memerintah pulau Jawa dengan adil dan bijaksana. Sepeninggal Sanna keadaan menjadi kacau. Sanjaya putra Sannaha (saudara perempuan Sanna) kemudian tampil sebagai raja. Pulau Jawa pun tentram kembali.

Prasasti Canggal tidak menyebutkan nama kerajaan yang dipimpin oleh Sanna dan Sanjaya. Sementara itu prasasti Mantyasih menyebut Sanjaya sebagai raja pertama Kerajaan Medang, sedangkan Sanna sama sekali tidak disebut. Mungkin Sanna memang bukan raja Kerajaan Medang. Dengan kata lain, Sanjaya mewarisi takhtanya namun mendirikan sebuah kerajaan baru yang berbeda. Kisah yang serupa terjadi pada akhir abad ke-13, yaitu Raden Wijaya raja pertama Majapahit adalah pewaris takhta Kertanagara raja terakhir Singhasari.

Pada zaman Kerajaan Medang terdapat suatu tradisi mencantumkan jabatan lama di samping gelar sebagai maharaja. Misalnya, raja yang mengeluarkan prasasti Mantyasih (907) adalah Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu. Itu artinya, jabatan lama Dyah Balitung sebelum menjadi raja Kerajaan Medang adalah kepala daerah Watukura.

Sementara itu gelar Sanjaya sebagai raja adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Mungkin ketika Sanna masih berkuasa, Sanjaya menjabat sebagai kepala daerah Mataram (daerah Yogyakarta sekarang). Kemudian, karena Sanjaya dianggap mendirikan kerajaan baru bernama Medang, maka istananya mungkin terletak di daerah kekuasaannya, yaitu Mataram sebagai ibu kota. Adapun pada masa pemerintahan Dyah Balitung, ibu kota Kerajaan Medang sudah berpindah ke Poh Pitu.

Kapan tepatnya Kerajaan Medang berdiri tidak diketahui dengan pasti. Seorang keturunan Sanjaya bernama Mpu Daksa memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa atau “kalender Sanjaya”. Menurut analisis para sejarawan, tahun 1 Sanjaya bertepatan dengan tahun 717 Masehi. Angka tahun tersebut menimbulkan dua penafsiran, yaitu tahun penobatan Sanjaya sebagai raja, atau bisa juga merupakan tahun kelahiran Sanjaya.

Apabila Sanjaya naik takhta tahun 717, berarti saat prasasti Canggal (732) dikeluarkan, Kerajaan Medang sudah berusia 15 tahun. Sementara itu apabila 717 adalah tahun kelahiran Sanjaya, berarti saat mengeluarkan prasasti Canggal ia masih berusia 15 tahun dan sudah menjadi raja. Dengan kata lain, Sanna mengangkat Sanjaya sebagai kepala daerah Mataram sejak masih anak-anak (sama seperti Jayanagara pada zaman Majapahit).

Versi Carita Parahyangan

Naskah Carita Parahyangan ditulis sekitar abad ke-16, jadi berselang ratusan tahun sejak kematian Sanjaya. Dikisahkan, nama asli Sanjaya adalah Rakeyan Jambri, sedangkan Sanna disebut dengan nama Bratasenawa, atau disingkat Sena.

Sena adalah raja Kerajaan Galuh yang berhasil dikalahkan oleh saudara tirinya, bernama Purbasora. Putra Sena, yaitu Rahyang Sanjaya alias Rakeyan Jambri telah menjadi menantu Tarusbawa raja Kerajaan Sunda. Dengan bantuan mertuanya itu, Sanjaya berhasil mengalahkan Purbasora tujuh tahun kemudian.

Sanjaya kemudian menyerahkan takhta Kerajaan Galuh kepada Demunawan, adik Purbasora. Hal ini ditolak oleh Rahyang Sempakwaja, ayah Purbasora karena takut kelak Demunawan akan ditumpas pula oleh Sanjaya. Sanjaya terpaksa menduduki sendiri takhta kerajaan tersebut.

Karena Sanjaya juga bertakhta di Kerajaan Sunda, maka pemerintahannya di Galuh diserahkan kepada Premana Dikusumah, cucu Purbasora. Sedangkan putra Sanjaya yang bernama Rahyang Tamperan dijadikan sebagai patih untuk mengawasi pemerintahan Premana.

Karena merasa tertekan, Premana akhirnya memilih pergi bertapa. Istrinya yang bernama Pangreyep, seorang putri Sunda, berselingkuh dengan Tamperan sehingga melahirkan Rahyang Banga. Tamperan kemudian mengirim utusan untuk membunuh Premana.

Setelah Sanjaya menjadi raja di Mataram, wilayah Sunda dan Galuh pun dijadikan satu di bawah pemerintahan Tamperan. Kemudian terjadi pemberontakan Manarah putra Premana yang berhasil menewaskan Tamperan. Sedangkan putranya, yaitu Banga lolos dari kematian.

Mendengar berita kematian putranya, Sanjaya pun menyerang Manarah. Perang besar terjadi akhirya didamaikan oleh Demunawan (adik Purbasora). Akhirnya dicapai sebuah kesepakatan, yaitu Banga sebagai raja Sunda, sedangkan Manarah sebagai raja Galuh.

Carita Parahyangan terlalu berlebihan dalam memuji kekuatan Sanjaya yang diberitakan selalu menang dalam setiap peperangan. Konon, Sanjaya bahkan berhasil menaklukkan Melayu, Kamboja, dan Cina. Padahal sebenarnya, penaklukan Sumatra dan Kamboja baru terjadi pada pemerintahan Dharanindra, raja ketiga Kerajaan Medang.

Sanjaya di Jawa Barat juga dikenal dengan sebutan Prabu Harisdarma. Ia meninggal dunia karena jatuh sakit akibat terlalu patuh dalam menjalankan perintah guru agamanya. Dikisahkan pula bahwa putranya yang bernama Rahyang Panaraban diperintah untuk pindah ke agama lain, karena agama Sanjaya dinilai terlalu menakutkan.

Hubungan dengan Rakai Panangkaran

Menurut prasasti Mantyasih, Sanjaya digantikan oleh Maharaja Rakai Panangkaran sebagai raja berikutnya. Raja kedua ini mendirikan sebuah bangunan Buddha, yaitu Candi Kalasan atas permohonan para guru raja Sailendra pada tahun 778. Berdasarkan berita tersebut, muncul beberapa teori tentang hubungan Sanjaya dengan Rakai Panangkaran.

Teori pertama dipelopori oleh van Naerssen menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya yang beragama Hindu. Ia dikalahkan oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha. Jadi, pembangunan Candi Kalasan ialah atas perintah raja Sailendra terhadap Rakai Panangkaran yang menjadi bawahannya.

Teori kedua dipelopori oleh Porbatjaraka yang menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya, dan keduanya merupakan anggota Wangsa Sailendra. Dengan kata lain, Wangsa Sanjaya tidak pernah ada karena tidak pernah tertulis dalam prasasti apa pun. Menurut teori ini, Rakai Panangkaran pindah agama atas perintah Sanjaya sebelum meninggal. Tokoh ini dianggap identik dengan Rahyang Panaraban dalam Carita Parahyangan. Jadi, yang dimaksud dengan istilah “para guru raja Sailendra” dalam prasasti Kalasan tidak lain adalah para guru Rakai Panangkaran sendiri.

Teori ketiga dipelopori oleh Slamet Muljana bertentangan dengan kedua teori di atas. Menurutnya, Rakai Panangkaran bukan putra Sanjaya, melainkan anggota Wangsa Sailendra yang berhasil merebut takhta Kerajaan Medang dan mengalahkan Wangsa Sanjaya. Teori ini didasarkan pada daftar para raja dalam prasasti Mantyasih di mana hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu, sedangkan penggantinya tiba-tiba begelar Maharaja. Selain itu, Rakai Panangkaran tidak mungkin berstatus sebagai raja bawahan, karena ia dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka dalam prasasti Kalasan.

Jadi, menurut teori pertama dan kedua, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya. Sedangkan menurut teori ketiga, Rakai Panangkaran adalah musuh yang berhasil mengalahkan Sanjaya.

Sementara itu menurut teori pertama, Rakai Panangkaran adalah bawahan raja Sailendra. Sedangkan menurut teori kedua dan ketiga, Rakai Panangkaran adalah raja Sailendra itu sendiri. Prasasti Kalasan menyebut Rakai Panangkaran sebagai Sailendrawangsatilaka (permata Wangsa Sailendra) serta bergelar maharaja, jadi tidak mungkin ia seorang bawahan.

Rakai Panangkaran

Sri Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana adalah raja kedua Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau yang lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno). Ia memerintah sekitar tahun 770-an.

Pembangunan Candi Kalasan

Maharaja Rakai Panangkaran adalah raja kedua dalam daftar raja-raja Kerajaan Medang versi prasasti Mantyasih, yang naik takhta menggantikan Sanjaya.

Prasasti atas nama Rakai Panangkaran yang sudah ditemukan adalah Prasasti Kalasan tahun 778 tentang pembangunan sebuah candi Buddha untuk memuja Dewi Tara. Pembangunan ini atas permohonan para guru raja Sailendra. Dalam prasasti itu ia dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka atau “permata Wangsa Sailendra”.

Candi peninggalan Rakai Panangkaran tersebut sekarang dikenal dengan sebutan Candi Kalasan.

Hubungan dengan Sanjaya dan Dharanindra

Sanjaya merupakan raja pertama Kerajaan Medang yang beragama Hindu aliran Siwa, sedangkan Rakai Panangkaran mendirikan sebuah candi Buddha aliran Mahayana. Sehubungan dengan berita tersebut, muncul beberapa teori seputar hubungan antara mereka berdua.

Teori pertama dipelopori oleh van Naerssen yang menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya. Ia kemudian dikalahkan oleh raja Wangsa Sailendra yang beragama Buddha. Pembangunan Candi Kalasan sendiri merupakan perintah dari raja Sailendra sebagai atasan Rakai Panangkaran. Nama raja tersebut kemudian ditemukan dalam prasasti Kelurak, yaitu Dharanindra.

Teori kedua dikemukakan oleh Poerbatjaraka bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya namun keduanya sama-sama berasal dari Wangsa Sailendra. Jadi, teori ini tidak mengakui keberadaan Wangsa Sanjaya. Sebelum meninggal, Sanjaya berwasiat agar Rakai Panangkaran berpindah agama Buddha. Teori ini didasarkan pada tokoh Rahyang Panaraban putra Sanjaya dalam naskah Carita Parahyangan yang juga dikisahkan pindah agama. Jadi, yang dimaksud dengan "para guru raja Sailendra" tidak lain adalah guru Rakai Panangkaran sendiri.

Teori ketiga dikemukakan oleh Slamet Muljana bahwa, Rakai Panangkaran bukan putra Sanjaya. Dalam prasasti Mantyasih tokoh Sanjaya bergelar Sang Ratu, sedangkan Rakai Panangkaran bergelar Sri Maharaja. Perubahan gelar ini membuktikan terjadinya pergantian dinasti yang berkuasa di Kerajaan Medang. Jadi, Rakai Panangkaran adalah raja dari Wangsa Sailendra yang berhasil merebut takhta Kerajaan Medang serta mengalahkan Wangsa Sanjaya. Menurutnya, Rakai Panangkaran tidak mungkin bawahan Wangsa Sailendra karena dalam prasasti Kalasan ia disebut sebagai Sailendrawangsatilaka.

Dengan demikian, Slamet Muljana menolak teori bahwa Rakai Panangkaran adalah bawahan Dharanindra. Tokoh Dharanindra dalam prasasti Kelurak (782) juga tidak mungkin sama dengan Rakai Panangkaran, karena nama asli Rakai Panangkaran dalam prasasti Kalasan (778) adalah Dyah Pancapana. Mungkin, Dharanindra adalah nama asli dari Rakai Panunggalan, yaitu raja ketiga Kerajaan Medang.

Dharanindra

Dharanindra Sri Sanggrama Dhananjaya, atau kadang disingkat Indra, adalah seorang raja dari Wangsa Sailendra yang memerintah sekitar tahun 782. Salah satu pendapat menganggapnya identik dengan Sri Maharaja Rakai Panunggalan raja ketiga Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau yang lazim disebut Mataram Kuno).

Penumpas Musuh-Musuh Perwira


Nama Dharanindra terdapat dalam prasasti Kelurak tahun 782. Dalam prasasti itu ia dipuji sebagai Wairiwarawiramardana, atau "penumpas musuh-musuh perwira". Julukan yang mirip terdapat dalam prasasti Nalanda, yaitu Wirawairimathana, dan prasasti Ligor B yaitu Sarwwarimadawimathana.

Sejarawan Slamet Muljana menganggap ketiganya adalah julukan untuk orang yang sama, yaitu Dharanindra. Dalam prasasti Nalanda, Wirawairimathana berputra Samaragrawira ayah dari Balaputradewa. Dengan kata lain, Balaputradewa raja Kerajaan Sriwijaya adalah cucu Dharanindra.

Sementara itu prasasti Ligor B menurut pendapat Sejarawan George Coedes dikeluarkan oleh Maharaja Wisnu raja Sriwijaya, sama seperti prasasti Ligor A, yaitu tahun 775. Teori ini ditolak Slamet Muljana yang berpendapat bahwa, hanya prasasti A saja yang ditulis tahun 775, sedangkan prasasti B ditulis sesudah Kerajaan Sriwijaya jatuh ke tangan Wangsa Sailendra.

Perbedaan tata bahasa antara prasasti A dan B membuat Slamet Muljana berpendapat bahwa, kedua prasasti itu ditulis dalam waktu yang tidak bersamaan. Ia juga memadukannya dengan prasasti Po Ngar, bahwa Jawa pernah menjajah Kamboja (Chen-La) sampai tahun 802. Selain itu, Jawa juga pernah menyerang Campa tahun 787.

Jadi, Dharanindra sebagai raja Jawa telah berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya, termasuk daerah bawahannya di Semenanjung Malaya, yaitu Ligor. Prasasti Ligor B ditulisnya sebagai pertanda bahwa Wangsa Sailendra telah berkuasa atas Sriwijaya. Prasasti tersebut berisi puji-pujian untuk dirinya sebagai penjelmaan Wisnu. Daerah Ligor kemudian dijadikannya sebagai pangkalan militer untuk menyerang Campa tahun 787 dan juga Kamboja.

Penaklukan terhadap Sriwijaya, Ligor, Campa, dan Kamboja ini sesuai dengan julukan Dharanindra, yaitu "penumpas musuh-musuh perwira". Kamboja sendiri akhirnya berhasil merdeka di bawah pimpinan Jayawarman tahun 802. Mungkin saat itu Dharanindra telah meninggal dunia.

Dalam teorinya, George Coedes menganggap Maharaja Wisnu merupakan ayah dari Dharanindra. Sementara itu, Slamet Muljana menganggap Wisnu dan Dharanindra merupakan orang yang sama. Selain karena kemiripan julukan, juga karena kemiripan arti nama. Wisnu dan Dharanindra menurutnya sama-sama bermakna “pelindung jagad”.


Hubungan dengan Rakai Panangkaran

Rakai Panangkaran adalah raja kedua Kerajaan Medang periode Jawa Tengah versi prasasti Mantyasih. Pada tahun 778 ia membangun Candi Kalasan atas permohonan para guru raja Sailendra.

Menurut teori van Naerrsen, Rakai Panangkaran adalah anggota Wangsa Sanjaya yang menjadi bawahan raja Sailendra. Nama raja Sailendra itu kemudian ditemukan dalam prasasti Kelurak (782), yaitu Dharanindra. Dengan kata lain, Dharanindra adalah atasan Rakai Panangkaran.

Menurut teori Pusponegoro dan Notosutanto, Wangsa Sanjaya tidak pernah ada, karena tidak pernah disebutkan dalam prasasti mana pun. Sanjaya dan Rakai Panangkaran merupakan anggota Wangsa Sailendra namun berbeda agama. Sanjaya beragama Hindu Siwa, sedangkan Rakai Panangkaran adalah putranya yang berpindah menjadi penganut Buddha Mahayana.

Teori ini menolak anggapan bahwa Rakai Panangkaran adalah bawahan Wangsa Sailendra karena ia sendiri dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka ("permata Wangsa Sailendra") dalam prasasti Kalasan (778). Jadi, yang dimaksud dengan "para guru raja Sailendra" tidak lain adalah para guru Rakai Panangkaran sendiri. Prasasti Kalasan dan prasasti Kelurak hanya berselisih empat tahun, jadi kemungkinan besar dikeluarkan oleh raja yang sama. Dengan kata lain, Dharanindra adalah nama asli Rakai Panangkaran.

Menurut teori Slamet Muljana, Rakai Panangkaran bukan putra Sanjaya. Keduanya berasal dari dua wangsa yang berbeda. Rakai Panangkaran adalah anggota Wangsa Sailendra yang berhasil merebut takhta Kerajaan Medang dan mengalahkan Wangsa Sanjaya. Jika ia hanya menjadi raja bawahan saja, maka ia tidak mungkin bergelar maharaja dan dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka. Sementara itu, menurut prasasti Kalasan, nama asli Rakai Panangkaran adalah Dyah Pancapana, jadi tidak mungkin sama dengan Dharanindra. Dengan kata lain, Dharanindra adalah raja pengganti Rakai Panangkaran.

Dalam prasasti Mantyasih diketahui nama raja Kerajaan Medang sesudah Rakai Panangkaran adalah Rakai Panunggalan. Jadi, menurut teori Slamet Muljana, Dharanindra adalah nama asli dari Rakai Panunggalan.
Balai Pustaka:
-Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
- Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
- Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
 

3 komentar:

  1. siapakah Dharanindra ? ? ? Aaaaaaaaaaaaaa......................... dari tahun 2008 belom ketemu gmn biography'a .... oohhhh tidaaakkk !!!

    BalasHapus
  2. smg saja ahli sejarah benar beritanya.

    BalasHapus
  3. smg saja ahli sejarah benar beritanya.

    BalasHapus

Segera laporkan kepada kami jika ada komentar yang menyimpang seperti;
Spam/promosi berlebihan, Kata/Kalimat Kasar, P0rnografi, SARA, Kebencian, Memaki komentator lain, atau komentar tidak berkenan lainnya. klik disini untuk melaporkan kepada moderator